Kualitas lingkungan mengalami perbaikan dalam beberapa bulan selama pandemi Covid-19.
Pencitraan satelit yang diambil Badan Antariksa Eropa (ESA) melalui Copernicus Sentinel-5P mengungkap terjadinya penurunan tingkat nitrogen dioksida di atmosfer antara 20 hingga 30 persen pada Februari 2020 dibandingkan pengukuran di bulan yang sama pada tahun 2017, 2018 dan 2019.
Hasil yang sama juga diperlihatkan NASA yang membagikan potret Bumi yang jauh lebih bersih. NASA membandingkan China yang pada 1 Januari 2020 hingga 20 Januari 2020 didominasi tingkat polusi yang tinggi, berkurang drastis pada 10 Februari 2020 hingga 25 Februari 2020.
Kebijakan sejumlah negara yang melakukan karantina wilayah atau lockdown sebagai langkah mengurangi risiko penularan Covid-19. Membuat kondisi Bumi menjadi lebih baik dan sehat. Pencemaran udara di Tiongkok dan Italia dilaporkan berkurang, bahkan menurut laporan terbaru, emisi karbon dunia mengalami penurunan terbesar sejak Perang Dunia II. Lantas, bagaimana dengan Indonesia?
Mengacu pada data PT PLN (Persero), jaringan listrik Jawa-Bali di minggu terakhir Maret 2020 terjadi penurunan sebesar 3,29 persen. Kemudian di awal April 2020 turun 4,48 persen dan di minggu ke dua April kembali turun 9,55 persen.
“Logikanya begini, meskipun perhitungan gas rumah kaca ini belum dilakukan. Melihat data penurunan pemakaian listrik sementara di Jawa-Bali yang masih menggunakan batu bara, maka pasti terjadi penurunan hal yang sama di tingkat dunia,” papar Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RM Karliansyah kepada TrustNews.
Bagaimana dengan kualitas air, lanjutnya, pemantauan kualitas air sungai pada Stasiun Monitoring KLHK menunjukkan Konsentrasi Zat Pencemar Organik (BOD dan COD) mengalami penurunan di Sungai Brantas dan Konsentrasi Amoniak di Sungai Ciliwung.
“Sungai Ciliwung untuk parameter kandungan oksigen terlarut (Chemichal Oxygen Demand/COD) membaik, bahkan sampai angka 6. Amonia juga membaik, itu bagus sekali,” paparnya.
Begitu juga dengan pencitraan satelit di 26 stasiun pemantau, lanjutnya, menunjukkan terjadi penurunan tingkat polusi. Berdasarkan Stasiun Pemantauan Udara KLHK mencatat penurunan konsentrasi partikulat ukuran 2,5 mikron (PM 2,5) sebesar 45 % di Gelora Bung Karno. Hal yang sama juga terjadi di Pekanbaru.
“Masuk kategori sedang, kalau mengacu pada standarnya," katanya.
Karliansyah juga membandingkan kondisi udara Jakarta dengan negara-negara tetangga lainnya, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Tiongkok. Menurut dia, Jakarta masih beruntung karena kondisi terburuknya hanya kurang sehat bagi kelompok rentan. "Kita masih beruntung, di antara dua itu, dua itu dominan, bagus, sedang, kadang-kadang tidak sehat untuk kelompok rentan," ujarnya.
Ditambahkannya, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk bisa mengatakan keadaan udara di Jakarta yang sesungguhnya. Pertama, alat pemantau kondisi udara harus dalam posisi statis (tidak bergerak) dan memang dirancang untuk memantau kondisi di luar ruangan.
Kedua, alat tersebut memiliki tinggi tiga meter di atas permukaan tanah serta berjarak minimal 20 meter dari jalan raya. Ketiga, semuanya harus dikalibrasi secara rutin.
“Mempublikasikan kepada masyarakat, perlu digunakan data rata-rata harian atau tahunan, bukan data yang sifatnya sementara. Kalau semua syarat tersebut dipenuhi, maka akan diperoleh data yang jelas mengenai kondisi udara di Jakarta,” tegasnya.
Tak hanya Jakarta, China dan Italia saja, berdasarkan data sejumlah negara di dunia pun melaporkan kualitas udara di sana semakin baik. Polusi udara pun turun secara signifikan.
Di Inggris Raya, kualitas udara telah meningkat secara drastis. Tingkat nitrogen dioksida (NO2) turun 60 persen di beberapa tempat selama periode yang sama dibandingkan tahun lalu.
Sementara itu, di Los Angeles, California, AS, akhir-akhir ini baru memiliki kualitas udara terbersih sejak 1980. Sementara para penduduk India, terutama di distrik Jalandhar, Punjab, menyatakan dapat melihat Pegunungan Himalaya yang berada di India bagian Utara.
Hal ini terjadi untuk pertama kalinya setelah 30 tahun. Padahal, jarak Himalaya sekitar 200 km dari Punjab. Penduduk setempat pun beramai-ramai membagikan foto mengesankan dari barisan gunung yang tertutup salju tersebut.
“Saya juga banyak dikirimi foto-foto pegunungan yang terlihat dengan jelas dari teman-teman. Sesuatu yang tak pernah terjadi dalam beberapa tahun terakhir,” pungkas Karliansyah.
Hal yang sama terjadi dengan kualitas air lanjutnya. Stasiun monito-ring KLHK menunjukkan konsentrasi zat pencemar organik (BOD) dan juga COD mengalami penurunan di Sungai Brantas. Sementara di Sungai Ciliwung, parameter kandungan oksigen terlalrut (DO) dan amoniak juga membaik. "Itu bagus sekali,” paparnya. (TN)