Kebutuhan nasional akan polistirena bisa dipenuhi pengusaha dalam negeri sehingga tidak perlu lagi impor. Di sisi lain, kampanye negatif akan plastik, merugikan semua pihak.
Ibarat petinju di sudut ring, produsen bahan baku plastik hanya bisa bertahan dari berbagai hantaman. Tengok saja belum lagi bernafas lega dari kampanye pelarangan penggunaan styrofoam, telah muncul wacana pengenaan cukai plastik dan kantong plastik berbayar saat berbelanja di ritel-ritel modern.
Bagi pabrikan, sejumlah kebijakan pemerintah terkait plastik, baik langsung maupun tidak langsung memberikan dampak yang signifikan yakni memukul mundur ragam sektor mulai dari hilir hingga hulu. Di sektor ritel akan terjadi pelemahan daya beli, memberi imbas terhadap industri kemasan (plastic converter) dan pada akhirnya memukul industri plastik hulu (petrochemicals industry).
Hal itulah yang dirasakan oleh PT Trinseo Materials Indonesia. Perusahaan material dan produsen plastik, lateks dan karet, ini memilih wait and see untuk meneruskan investasi baru. Padahal, Trinseo sempat berencana menambah kapasitas produksinya sebesar 20%.
“Sepertinya mengalami penundaan melihat kebijakan pemerintah, mungkin ditunda hingga 2 tahun ke depan,” ujar Dony Wahyudi, Sales Manager PT Trinseo Materials Indonesia kepada TrustNews awal minggu lalu.
Dony memaparkan ada beragam informasi yang salah terkait plastik dan styrofoam dengan segala efek negatifnya. Mulai dari sisa pemakaian yang butuh waktu lama untuk diurai hingga pemicu penyakit kanker.
“Dibilangnya styrofoam bisa memicu kanker padahal itu tidak benar, hoax. Berdasarkan data yang dirilis Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), styrofoam itu 100 persen aman digunakan dan kantong plastik merujuk Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang ada saat ini sudah ramah lingkungan,” ujarnya.
Sebagai informasi, sejak 2009, BPOM telah melakukan penelitian terhadap 17 jenis kemasan polistirena dan ditemukan fakta bahwa residu stirena dalam styrofoam masih berada di bawah batas maksimal yakni 10- 43 ppm (part per million) per kemasan.
Merujuk World Health Organization (WHO), monomer stiren tidak mengakibatkan gangguan kesehatan jika residu tidak melebihi 5000 ppm. Dalam percobaan kepada hewan, jika lebih dari 5000 ppm mengakibatkan kanker.
Dony berharap pemerintah dan masyarakat bisa lebih bijak dalam memandang permasalahan styrofoam dan plastik dikarenakan ada begitu banyak pihak yang terlibat di dalamnya. “Jangan direcokin,” ujarnya.
Maksudnya, ada begitu banyak masyarakat kecil yang menggantungkan hidup mulai dari pemulung hingga para pedagang makanan. Sebagai contoh, para pedagang menggunakan Styrofoam dan plastik sebagai wadah makanan. Bila kemudian berganti sesuai kebijakan pemerintah dengan kertas kardus, maka ada tambahan biaya untuk membeli pelapisnya yakni plastik LDPE. Dibandingkan Styrofoam 1 buah Rp200, plastik LDPE harganya sekitar Rp2.000/dus.
“Kalau dengan Styrofoam sebungkus nasi goreng harganya Rp10.000, maka dengan pemakaian kertas dan plastik LDPE harganya dinaikkan Rp12.000. Kenaikan harga jual secara otomatis membuat barang yang dijual dirasa mahal dan pembeli mencari yang lebih murah. Apa tidak menurun penjualannya?” ujarnya.
Belum di sektor lain, lanjut Dony, plastik-plastik yang menjadi sampah memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi dan membuka lapangan pekerjaan yang sangat besar. Mulai dari pemulung, pengepul hingga industri daur ulang dengan nilai perputaran hingga 10 triliun per tahun.
“Meskipun plastik sudah jadi sampah ia tetap memiliki nilai ekonomi dan membuka berjuta lapangan pekerjaan," ungkapnya.
Menanggapi masalah sampah plastik, Dony menyarankan agar pemerintah maupun masyarakat benar dalam menanganinya. Menurutnya pemerintah harus memfasilitasi masyarakat untuk pengolahan sampah, terutama bagi penduduk daerah bantaran sungai, agar mereka tidak membuang sampah ke sungai. Selain itu, edukasi tentang bahaya membuang sampah sembarangan juga perlu digalakkan.
"Pemerintah tidak bisa menangani sampah plastik dengan baik, malah menyalahkan plastiknya," imbuh Dony.
Hal ini menyebabkan perusahaan berfikir ulang untuk melakukan investasi. Misal Trinseo, lanjutnya, awalnya berencana menambahkan kapasitas produksi. Namun pada akhirnya mereka memutuskan akan menghitung ulang dan menunggu kebijakan yang akan diambil pemerintah.
“Kalau kita bicara polistirena market size-nya sekitar 100 ribu ton per tahun, Trinseo sendiri saat ini memproduksi 85 ribu ton per tahun sisanya sekitar 15 ribu ton masih impor. Kami berencana untuk menambah kapasitas produksi menjadi 100 ribu ton hingga tidak perlu lagi impor, namun kalau semua berbau plastik dilarang, dikenakan PPN bahkan akan dicukai sepertinya ditangguhkan hingga ada kepastian,” tegasnya.(TN)