TRUSTNEWS.ID,. - Disparitas pemenuhan dokter spesialis masih terjadi di seluruh Indonesia. Akibatnya, dengan perhitungan target rasio 0,28: 1.000 maka saat ini Indonesia masih kekurangan sekitar 30 ribu dokter spesialis.
Hal ini ditegaskan Arianti Anaya, Direktur Jenderal Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan kepada TrustNews. Dilanjutkannya, untuk memenuhi jumlah dokter spesialis tersebut diperkirakan membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun.
"Angka 10 tahun diasumsikan jumlah penyelenggara prodi dokter spesialis sebanyak 21 dari 92 fakultas kedokteran dengan menghasilkan lulusan spesialis sekitar 2.700 tiap tahun,”ujar Arianti.
"Kita harusnya minimal punya 280 ribu dokter, saat ini baru punya 140 ribu dokter. Kalau kita lihat fakultas kedokteran hanya menghasilkan sekitar 12 ribu dokter per satu tahun dan ini pekerjaan rumah buat kita, bagaimana kami mempercepat pengadaan dokter," paparnya.
Selain kekurangan jumlah dokter spesialis, kata Arianti, saat ini persebarannya pun belum merata karena 59 persen masih berada di Pulau Jawa. Sementara wilayah Indonesia bagian timur jumlah dokter spesialis masih terbatas.
"Kita juga kekurangan dokter spesialis, kalau di Singapura dokternya sudah 1:3 menuju 4. Dokter spesialis neurolog masih sangat kekurangan, obgyn, penyakit dalam, harusnya di puskesmas ada 9 jenis tenaga kesehatan bahkan kita punya 1.500 puskesmas dan itu ada puskesmas yang tanpa dokter, 44rb puskesmas tanpa dokter gigi," ungkapnya.
Untuk bisa mendorong produksi tenaga medis, lanjutnya, Direktorat Jenderal Tenaga Kesehatan bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan membuka fakultas kedokteran di wilayah-wilayah yang masih kekurangan.
"Sudah kami sepakati antara Kemenkes dan Dikti, kami bekerjasama dengan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dalam bentuk beasiswa Kesehatan untuk program studi dokter spesialis," ujarnya.
Sejak 2021 Kemenkes hanya menyediakan 600 beasiswa dokter spesialis, pada 2022 kuota beasiswa meningkat tajam menjadi 1.676 beasiswa yang terdiri dari beasiswa Kemenkes dan LPDP, kemudian naik lagi pada 2023 menjadi 2.170 beasiswa dari Kemenkes dan LPDP. Kuota beasiswa ini akan ditingkatkan lagi di 2024.
Sejak 2021 Kemenkes hanya menyediakan 600 beasiswa dokter spesialis, pada 2022 kuota beasiswa meningkat tajam menjadi 1.676 beasiswa yang terdiri dari beasiswa Kemenkes dan LPDP, kemudian naik lagi pada 2023 menjadi 2.170 beasiswa dari Kemenkes dan LPDP. Kuota beasiswa ini akan ditingkatkan lagi di 2024.
"Kita katakan beasiswa ini harus disesuaikan dengan kemauan Kemenkes. Setelah dokter ini lulus, Dikti juga harus memetakan pendistribusian tentu bekerjasama dengan Kemekes, karena pendistribusian ini juga merupakan masalah besar bagi kita" ujarnya.
"Biasanya daerah-daerah itu ada yang komit untuk memfasilitasi dokter, tapi banyak juga yang tidak komit dalam memfasilitasi dokter di daerahnya, sementara dokter itu harus diperhatikan keamanannya, kesejahteraannya, penghasilan," paparnya.
Aryanti membandingkan, jumlah rumah sakit swasta jauh lebih banyak dibandingkan rumah sakit pemerintah. Bagi pengelola rumah sakit swasta jauh lebih mudah untuk memberikan fasilitas yang lebih dari cukup untuk dokter. Hal ini membuat para dokter lebih mau bekerja di rumah sakit swasta dibandingkan brumah sakit pemerintah.
"Kalau dahulu kami memberikan beasiswa dan banyak yang tidak balik ke negara Indonesia atau tidak mau mengabdi ke negara, maka sekarang kami punya kewenangan mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) yang dimiliki dokter. Sehingga dokter yang bersangkutan tidak bisa praktek dimanapun, karena dokter spesialis ini kalau selesai dan ingkar terhadap kesepakatan yang ada, maka dia harus mengganti biaya 5 atau 10 kali dari brsaran biaya yang dikeluarkan negara " pungkasnya.