Jakarta - Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, Prof. Dr. Muhammad Ali Ramdhani, mengatakan Hari Santri memiliki kaitan erat dengan deklarasi resolusi jihad yang memompa kalangan santri dan ulama untuk mempertahankan kemerdekaan RI, yang diproklamirkan tepatnya pada 17 agustus 1945. Dari sinilah, kemenangan kaum santri dan pejuang ulama menggelora tepat di tanggal 10 November 1945.
Muhammad Ali Ramdhani menjelaskan, kandungan resolusi jihad menekankan pentingnya komitmen antara dua hal, yaitu keislaman dan keindonesiaan dalam sebuah tarikan nafas. Ia menegaskan, upaya memperjuangkan dan membela kebangsaan atau nasionalisme merupakan kewajiban dalam beragama.
“Kedua hal ini saling menguatkan, dan bukan saling menegasikan. Kecintaan terhadap Pancasila dan NKRI berdasarkan atas keyakinan keislaman tentu saja kita pegang dan kita anuti. Basis keislaman sangat diperlukan dalam membangun dasar Pancasila sebagai dasar negara. Komitmen ini menjadi penting, karena jiwa kita adalah jiwa santri,” tutur Muhammad Ali saat memberikan sambutan dalam acara webinar Tadarus Litapdimas ke-25 dengan tema ‘Menjadi Intelektual Santri, Manifestasi Khittah PTKI: Catatan Besar Hari Santri Tahun 2020’ pada Selasa, 20 Oktober 2020.
Ia pun menegaskan, santri didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki komitmen dan kualitas pengetahuan, serta memiliki wawasan kebangsaan yang kuat, dan nasionalisme yang tinggi.
Dalam acara yang dipandu Kasubdit Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Dr. Suwendi, M.Ag tersebut diselenggarakan dalam rangka menyambut peringatan Hari Santri yang jatuh pada 22 Oktober mendatang dengan menghadirkan narasumber Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Prof. Dr. Muhammad Ali Ramdhani, Rektor UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi Prof. Dr. Suaedi Asyari, M.A., Ph.D, Ketua LP2M UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Prof. Dr. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag.
Kasubdit Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Dr. Suwendi, M.Ag, yang memandu webinar ini mengatakan, tema ini sengaja diangkat karena keberadaan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam memiliki korelasi yang sangat erat dengan dunia pesantren dan hal-hal yang berkaitan dengan kesantrian. Melihat dari aspek sejarah, PTKI didirikan sebagai transformasi kelembagaan dari pesantren, dan sebagian besar PTKI baik negeri maupun swasta pada awalnya didirikan oleh kalangan yang berasal dari pesantren.
Dalam kesempatan itu, Rektor UIN Jambi Dr. Suadi Asyari, M.A., Ph.D mendefinisikan ilmuwan adalah seseorang yang memiliki pemahaman sains dan pandai membaca kitab kuning, atau layak juga disebut kiai. Di Jambi sendiri, Suadi berusaha mendorong para alumni pesantren untuk mengusung paradigma transintegrasi ilmu.
Melalui paradigma transintegrasi ilmu di Jambi ini, ia optimis mampu menciptakan intelektual santri atau santri yang intelektual guna menjawab kebutuhan masyarakat saat ini.
“Ini diilhami oleh filsafat transmodernisme, yaitu sebuah langkah untuk menjarakkan diri dengan modernisme dan post modernisme,” kata Suaedi dalam paparannya.
Menjelang peringatan Hari Santri, Suaedi pun mengungkapkan harapannya bagi lembaga pesantren agar mampu memperbanyak jurusan program studi yang memiliki hubungan secara riil dengan kehidupan masyarakat.
“UIN Jambi ingin supaya di pesantren itu diperbanyak jurusan-jurusan yang riil berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, misalnya selama ini yang berkaitan dengan IPA atau sains, MTK, Fisika, Biologi, yang nantinya ketika masuk ke Perguruan Tinggi, dia dapat memilih jurusan apa saja yang dibutuhkan. Akan tetapi hari ini yang riil dibutuhkan adalah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sehingga dengan demikian, kita bisa mewujudkan santri yang intelektual,” imbuhnya.
Sementara itu, Ketua LP2M UIN Malang Prof. Dr. Tutik Hamidah, M.Ag menjelaskan secara etimologi, intelektual santri merupakan orang yang mendalami agama Islam dengan sungguh-sungguh, berkepribadian saleh dan memiliki kecerdasan tinggi. Sedangkan jika ditinjau secara terminologi, intelektual santri adalah orang yang memiliki keahlian, mengamalkan ajaran agama Islam, mengikuti teladan kiai, memiliki komitmen kebangsaan dan menguasai ilmu pengetahuan secara luas.
Pada webinar ini, Tutik juga menjabarkan profil ideal santri harus mencakup empat hal, yaitu pertama, wani dalile atau seorang santri dituntut memiliki intelektualitas yang tinggi, tahu dasar dalam tindakan amaliyah berislam. Kedua, wani suwuke, yaitu senantiasa melangganegkan doa kepada Allah SWT. Ketiga, wani duite, yaitu santri harus turut memperhatikan mata pencaharian agar terhormat dan menjadi panutan, dan terakhir wani gelute yaitu seorang santri harus mnjadi garda depan dalam membela agama Islam pada umumnya, dan organisasi yang bergerak di bidang pesantren, seperti Nahdlatul Ulama.