trustnews.id

Bermasalah, Ratusan Toko Online Ditutup
Ilustrasi

Bermasalah, Ratusan Toko Online Ditutup

BISNIS Selasa, 18 Juni 2019 - 06:22 WIB TN

Ratusan portal e-commerce tidak berbayar 
merugikan pemilik merek dagang hingga 
pengguna akhir atau konsumen.

Ratusan toko online atau portal  e-commerce  bermasalah ditutup Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Kementerian Hukum HAM melalui Direktorat Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa. Portal dtersebut berdampak merugikan pemilik merek dagang hingga pengguna akhir atau konsumen.
"Kami sudah tutup ratusan website bermasalah. Kami mengundang YLKI, BermasalahRatusan Toko Online Ditutup Ratusan portal e-commerce tidak berbayar merugikan pemilik merek dagang hingga pengguna akhir atau konsumen. Kementerian terkait seperti Kominfo, kami melakukan gelar perkara dan kami putuskan untuk ditutup," ungkap Direktur Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa, Direktorat Jenderal HKI KemenhumHAM, Brigjen Pol Reinhard Silitonga di sela buka puasa bersama Mansyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) di Jakarta, (20/5).
Reinhard menjelaskan, rata-rata ratusan portal e-commerce yang ditutup adalah portal tidak berbayar, seperti e-commerce berbasis wordpress dan blog. Dalam praktiknya, pemilik blog menayangkan iklan produk dengan harga murah dan hanya mencantumkan nomor kontak saja, tanpa menyertakan alamat.
”Saat dihubungi, harganya justru lebih tinggi berlipat-lipat dari yang tertera di situs. Ini tentu merugikan konsumen juga pemilik produk yang dipalsukan. Maka itu, kita tutup ratusan situs tersebut,” kata Reinhard.
Dalam penyelesaian laporan yang masuk, lanjutnya, pihaknya telah membentuk tim verifikasi penutupan konten iklan di website. Di sisi lain, pelaporan masyarakat juga mengeluhkan lamanya proses pencabutan konten iklan yang melanggar tersebut. Padahal kewenangannya ada pada asosiasi e-commerce, seperti idEA.
 ”Jadi, kami teruskan ke idEA,” katanya. 
Ditambahkannya, sepanjang 2018 ada 40 laporan pelanggaran merek yang masuk ke Direktorat Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa Merek. 
”Sebanyak 50% sudah kita selesaikan. Kalau periode Januari-Mei 2019 ini ada sekitar 20 laporan masuk. Bulan Mei saja ada 17 kasus,” ujarnya. 
Sementara itu, Ketua Kebijakan Umum idEA Even Alex Chandra mengatakan, ada ratusan juta konten iklan di e-commerce yang bermasalah. Pihaknya merasa kesulitan juga. Karena sejatinya di awal itu sudah ada ketentuan bahwa tidak boleh menjual barang palsu yang melanggar merek dan HKI. 
”Tetapi tetap saja ada yang upload iklan barang palsu. Bisa mencapai ratusan juta konten iklan,” kata Alex.
Soal lambatnya penanganan atau take down konten iklan yang bermasalah Alex menjelaskan, biasanya ada pada link iklan yang dikirim pelapor tidak valid. 
”Proses take down itu 14 hari kerja. Ada yang sudah lengkap data-data resminya, lalu laporan pelanggaran via link iklan tidak bisa diklik,” kata Alex. 
Ketua MIAP Justisiari P Kusumah mengatakan, ada sejumlah sebab beredarnya barang palsu di situs e-commerce. Pertama, dengan e-commerce, akses pedagang dan pembeli tidak tersekat. 
”Kalau dulu supplier besar saja yang bisa, sekarang dengan platform ecommerce, pedagang bisa langsung jual barang ke end user,” ujarnya.
Kedua, identitas tertutup juga membuat pelaku dagang curang dengan leluasa menjual produk palsu. Ketiga, proses pembayaran secara online men-jadi penyebab. Karena selama bisa digunakan kartu kredit atau fasilitas pembayaran online, pembeli bisa langsung bayar. 
”Semua isu ini menarik dan serius. Karena permasalahan ini bukan hanya pemilik hak, juga platform e-commerce aparat kepolisian, Bea Cukai. Jadi butuh upaya konstruktif kolabo rasi untuk menangani masalah ini. Memang ada kesepakatan nonformal untuk menanggulangi masalah ini, tetapi belum cukup. Butuh kesepakatan formal. Karena unsur perlindungan konsumen dan produsen sangat penting,” kata Justisiari.
Sedangkan pengamat digital, Heru Sutadi mengatakan, tidak semua penyedia layanan e-commerce bisa hidup, baik yang menggunakan blog gratisan, jejaring sosial, media sosial, maupun marketplace . 
“Selain marketplace, persoalan utama adalah banyaknya penipuan, baik kesalahan dalam harga yang berbeda, barang tidak dikirim, maupun kualitas jelek,” tegasnya.
Menurut dia, bisnis marketplace juga memiliki masalah, misalnya kualitas barang tidak sesuai gambar, ukuran yang tidak sesuai, dan juga orisinalitas barang yang bermerek.
”E-commerce intinya adalah bisnis kepercayaan. Ini harus dijaga. Kalau tidak ada kepercayaan, ya tinggal tunggu waktu akan mati secara perlahan atau bahkan bisa cepat bubar,” ujar Heru. (TN)