Industri manufaktur memberikan sumbangan besar pada produk domestik bruto. Kejelian memanfaatkan momentum.
Di tengah tekanan berat negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, akibat berlarut-larutnya perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Masih ada semilir angin segar di sesaknya rongga dada. Angin itu datang dari sektor industri Agro, tercatat subsektor, seperti industri makanan dan minuman, industri hasil tembakau, industri pengolahan kayu, bambu dan rotan, industri kertas dan berbahan kertas serta industri furnitur.
“Saya kira kalau industri makanan dan minuman ini perang dagang mungkin pengaruhnya tidak besar sekali,” ujar Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochman kepada TrustNews.
Selaku Dirjen Industri Agro, Abdul Rochman, tak sedang menisbikan pertarungan dua goliath. Hanya saja, bila merujuk data Kementerian Perindustrian, sepanjang tahun 2018, industri makanan dan minuman mampu tumbuh sebesar 7,91 persen atau melampaui pertumbuhan ekonomi nasional di angka 5,17 persen.
Masih dari data yang sama, pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang pada triwulan IV 2018 naik sebesar 3,90 persen (year on year) terhadap triwulan IV-2017. Salah satunya disebabkan meningkatnya produksi industri minuman yang mencapai 23,44 persen.
“Sampai semester I-2019 pertumbuhan industri makanan dan minuman masih di atas 7 persen. Sedangkan pada triwulan I-2019, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) industri makanan dan minuman mencapai 6,77 persen,” ujarnya.
Angka itu tentu di atas pertumbuhan PDB industri nasional sebesar 5,07 persen. Termasuk kontribusi sebesar 35,58 persen terhadap PDB industri Non Migas dan sebesar 6,35 persen terhadap PDB nasional.
Selain makanan dan minuman. Industri furnitur juga bisa mencuri kesempatan dalam perang dagang. Ini dimungkinkan, mengingat total ekspor furnitur china ke Amerika Serikat itu mencapai USD34,8 miliar. dengan penggenaan tarif impor sebesar 2,5% oleh Amerika Serikat, menjadikan impor barang China ke AS tidak lagi menarik.
“Kalau misalkan Amerika Serikat mengenakan bea masuk yang tinggi terhadap produk-produk China, khususnya furnitur. Ini momentum yang bagus buat para pelaku industri furnitur nasional untuk masuk ke Amerika Serikat dan harus dimanfaatkan sebaik-baiknya,” tegasnya.
Peluang, yup sebuah momentum yang tidak boleh disia-siakan. Secara penjualan, industri furnitur nasional terus mengalami peningkatan pada pasar global. Tahun 2016 nilai ekspor furnitur tercatat USD1,60 miliar, kemudian naik menjadi USD1,63 miliar pada 2017. Kemudian naik lagi menjadi USD1,69 pada 2018 atau setara dengan Rp24 triliun.
Bahkan hingga Januari 2019, neraca perdagangan industri furnitur mengalami surplus dengan nilai ekspor sebesar USD113,36 juta. Ini naik 8,2 persen dibandingkan capaian pada Desember 2018. Sepanjang tahun lalu, nilai ekspor furnitur nasional menembus USD1,69 miliar atau naik 4 persen dibanding tahun 2017.
“China sudah pasti tak mau kehilangan pasar, namun pengenaan tarif impor yang tinggi membuat China melirik negara lain untuk menanamkan investasinya. Ini kerja satu visi dan satu tim untuk bersama-sama mendekati dan meyakinkan China untuk menanamkan investasinya di Indonesia,” tegasnya.
Dalam hitung-hitungan Abdul Rochman, kontribusi dari sektor makanan dan minuman menyumbang 35 persen PDB sektor industri nonmigas. Bila dihitung secara nasional, nilainya mencapai 6 persen. Ini belum masuk dari penurunan harga minyak kelapa sawit (crude plam oil/CPO), sebagai akibat menurunnya permintaan negara tujuan ekspor utama. Termasuk sentimen yang ditimbulkan dari kampanye negatif di Eropa.
“Ini menjadi konsen kita mendorong penyerapan CPO nasional dengan memanfaatkan program B20 hinggai B50 di tahun 2021 nanti. Bagaimana kita dapat memanfaatkan CPO sebesar-besarnya di dalam negeri. Subtitusi BBM impor menjadi biodiesel menjadi tantangan bagi kami di Agro,” pungkasnya.(TN)
Baca Juga :